Kamis, 21 Januari 2010

Hidupkan Kembali Braga

Sekilas tentang Bandung

Dari sebuah daerah yang jatuh dari satu tangan penguasa ke tangan penguasa lainnya, kini Bandung telah menjadi ibukota Jawa Barat yang mengalami perkembangan pesat. Jumlah penduduknya meningkat tajam sejak tahun 1950 hingga 1960-an. Fasilitas pendidikan semakin bertambah banyak. Aktivitas ekonomi dan bisnis turut merambah memasuki kota ini ditandai dengan munculnya pusat-pusat perbelanjaan maupun factory outlet baik yang berskala besar, sedang hingga yang kecil. Jalan jalannya dipadati mobil-mobil yang jumlahnya terus meningkat sehingga seringkali menyebabkan kemacetan. Akibatnya, proyek pelebaran jalan sering dilakukan dengan menggusur bangunan-bangunan yang dianggap merintangi.


Seperti kota-kota lain yang tengah berkembang, Bandung sarat dengan dinamika dan juga persoalan. Salah satu persoalan penting yang seringkali luput dari perhatian masyarakat dan pemimpin adalah hilangnya benda cagar budaya, dalam hal ini bangunan¬-bangunan kuno yang merupakan saksi sejarah dan penanda (identitas) sekaligus kekayaan kota. Seperti halnya Semarang, Malang, Medan dan Cirebon, dari waktu ke waktu, Bandung kehilangan bangunan kuno yang kaya dengan langgam arsitekturnya mulai dari Neo-Gothic, Art Nouveau, Art Deco, Fungsionalisme Modern dan lain sebagainya. Dalam satu dekade terakhir sejumlah bangunan hancur tanpa bekas, sebut saja gedung Singer, bangunan pojok berlanggam Art-Deco di Simpang lima, Bioskop Panti karya, bangunan rumah tinggal di Jl. RE Martadinata, bangunan rumah tinggal di Jl. Pagergunung yang dulunya terdiri dari 12 rumah dan sekarang tinggal 8,bangunan di Ciumbeuleuit dan masih banyak lagi lainnya. Sesuai W No.5 tahun 1992, ada beberapa kriteria benda cagar budaya, termasuk di dalamnya bangunan kuno, yang harus dilindungi dan dilestarikan. Kriteria tersebut yaitu berumur sekurang-kurangnya 50 tahun atau mewakili masa gaya yang khas dan mewakili masa gaya sekurangkurangnya 50 tahun serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan.


Sayangnya, potensi besar yang dimiliki Bandung ini semakin lama semakin berkurang jumlahnya. Manusia tanpa sejarah akan kehilangan identitasnya. Demikian juga dengan sebuah kota. Perjalanan panjang sejarahnya bisa terlukis lewat kekayaan warisan arsitektur yang menggambarkan perkembangan kebudayaan masyarakatnya. Meski mungkin menyimpan nilai sosial yang negatif, namun semua itu tetaplah bagian dari cerita panjang sejarah sebuah kota yang memberi andil dalam membentuk jati diri dan kehidupan kota tersebut. Membiarkan warisan ini hilang sama artinya dengan menghapus satu sisi kehidupan yang membentuk jati diri kita.


Sejarah Jalan Braga

Jalan Braga adalah nama sebuah jalan utama di kota Bandung. Nama jalan ini cukup dikenal sejak masa pemerintahan Hindia-Belanda. Sampai saat ini nama jalan tersebut tetap dipertahankan sebagai salah satu maskot dan obyek wisata kota Bandung yang dahulu dikenal sebagai Parijs van Java.

Tiap orang yang pernah ke berkunjung ke Bandung pasti mengenal Jalan Braga. Atau paling tidak , seklai dalam hidupnya pernah mendengar nama jalan yang mengangkat citra Bandung 'tempo doeloe'. Jalan Braga membujur dari arah selatan ke utara itu, termasuk salah satu jalan paling tua di Kota Bandung dengan panjang tak lebih dari 1 kilometer.


Pada masa awal, jalan itu menghubungkan gudang kopi milik Andries de Wilde, tempat yagn kini digunakan Kantor Walikota Bandung. Jalan itu hanya bisa dilalui gerobak atau pedati yang ditarik kerbau sehingga dinamakan "Karrenweg" (Jalan Pedati), dimana kala musim hujan berlumpur dan musim kemarau berdebu serta malam hari masih gelap gulita.


Ujung selatan dari Jalan Pedati (karrenweg) merupakan simpang tiga dengan Jalan Raya Pos (Groote Postweg) yang dibangun tahun 1810. Karena fungsi dan peran jalan ini semakin meningkat dan dianggap tidak cocok lagi, kemudian menyandang nama baru : "Bragaweg". Menurut kuncen Bandung, Haryoto Kunto, diambil dari nama perkumpulan tonil 'Braga' yang didirikan Asisten Residen Pieter Sijthoff pada tanggal 18 Juni 1882. Walaupun banyak juga versi asal-muasal nama Braga yang beredar ditengah masyarakat.


Pada masa Burgemeester B.Coops (1917-1928), muncul gagasan membagun Braga menjadi kawasan belanja bergengsi di Hindi-Belanda. Gagasan itu direalisir oleh dua tekhnisi Gemeente Bandung, yaitu Ir. J.P. Thysse dan ir. E.H. de Rooo. Ditetapkan bahwa setiap bangunan toko di Jalan Braga harus memiliki gaya arsitektur barat dengan sempadan jalan "NOL".


braga tempo dulu


Jalan Braga menjadi ramai karena banyak usahawan-usahawan terutama berkebangsaan Belanda mendirikan toko-toko, bar dan tempat hiburan di kawasan itu seperti tokoOnderling Belang. Kemudian pada dasawarsa 1920-1930-an muncul toko-toko dan butik (boutique) pakaian yang mengambil model di kota Paris, Perancis yang saat itu merupakan kiblat model pakaian di dunia. Dibangunnya gedung Societeit Concordia yang digunakan untuk pertemuan para warga Bandung khususnya kalangan tuan-tuan hartawan, Hotel Savoy Homann, gedung perkantoran dan lain-lain di beberapa blok di sekitar jalan ini juga meningkatkan kemasyhuran dan keramaian jalan ini. Pada saat itu segala kebutuhan dengan kualitas bergensi bisa didapatkan di Braga.


peta jalan braga tempo dulu


Namun sisi buruknya adalah munculnya hiburan-hiburan malam dan kawasan lampu merah (kawasan remang-remang) di kawasan ini yang membuat Jalan Braga sangat dikenal turis. Dari sinilah istilah kota Bandung sebagai kota kembang mulai dikenal. Sehingga perhimpunan masyarakat warga Bandung saat itu membuat selebaran dan pengumuman agar "Para Tuan-tuan Turis sebaiknya tidak mengunjungi Bandung apabila tidak membawa istri atau meninggalkan istri di rumah".

Dengan makin bertumbuhnya persaingan dalam usaha bisnis di kota Bandung, Braga mulai kehilangan pamornya. Namun kemegahannya masih meninggalkan bukti kejayaan masa lalu. Hampir separuh arsitektur bangunan masih tampak utuh sebagimana awal perjalannya sebagai pusat perbelanjaan modern masa kolonial. Arsitektur bangunan di Braga pernah tertutup oleh papan-papan reklame iklan. untung sejak 1988, semua papan-papan reklame diturunkan, sehingga gaya arsitektur sebagian besar adalah Art Deco kembali menampakkan diri.


Braga Saat Ini

Kompleks terkemuka Braga, dulu adalah magnet. Seperti ditulis Haryoto Kunto dalam bukunya Wajah Bandoeng Tempo Doeloe, Braga pernah dijuluki sebagai De Meest Europeesche Winkelstraat Van Indie: Kompleks Pertokoan Eropa Paling Terkemuka di Hindia. Elegan dan bergengsi. Sejak dulu Braga ramai sebagai tempat jual-beli gaun-gaun mode terbaru, termasuk keluaran Paris yang sedang tren. Toko-toko yang pernah bersaing menggoda para noni Belanda, antara lain, Onderling Belang (OB), Modemagazijn 'Au Bon Marche', Modiste, dan Kleermarker.


Saat ini,jalan Braga perlahan-lahan mulai mati. Toko-tokonya masih buka, tapi dalam kondisi sekarat. Siang hari di Braga kini lengang. Jangankan warga Bandung, warga Jakarta yang setiap akhir pekan berbondong-bondong ke Bandung, seolah tak melirik Braga kendati lokasinya tak jauh dari Alun-alun kota Bandung ini.


Pada Saat pukul 11.00 WIB, saat yang seharusnya sedang ramai. Toko-toko di jalan Braga ini malah menutup pintu. Sejumlah porselen yang biasa dijadikan suvenir, masih berjejer di etalase. Tapi, pemiliknya mengatakan toko tersebut sudah tutup. Di Jl Braga yang panjangnya sekitar setengah kilometer itu, ada 120 bangunan di sepanjang jalan itu. Tapi, hanya beberapa rumah makan dan kantor buka. Dari 120 bangunan, 45 persen di antaranya sudah mati. Sebanyak 55 persen bangunan di Braga, yang sampai saat ini terlihat masih menjalankan aktivitas, dipakai untuk kantor, bank, toko mebel, dan tempat hiburan malam. Jumlah jam bukanya pun semakin irit. Jika terus seperti itu, David memprediksi lama-lama kantor, bank, dan toko-toko itu akan tutup atau hengkang.



Jl. braga saat ini


Di tengah kesemrawutan itu, aktivitas lain yang tidak elegan, berdenyut di Braga. Pada malam hari, Braga berubah menjadi 'kandang ayam'. Banyak perempuan malam yang menjajakan diri di sana. Malah ada pepatah baru bilang, kalau punya anak cantik dan muda, jangan dibiarkan jalan-jalan ke Braga, Nanti dibeli.


Permasalahan di Braga

Kawasan Braga di Bandung dulau sangat terkenal diantara orang-orang Belanda yang tinggal di Indonesia pada saat itu, terutama terjadi karena tiga kegiatan. Pertama, promosi wisata yang dilakukan oleh “Bandoeng Vooruit”. Kedua, berlangsungnya jaarbeurs (bursa tahunan) di kawasan Jalan Aceh setiap bulan Juni-Juli mulai tahun 1920. Acara itu diramaikan oleh berbagai jenis kesenian. Ketiga, acara pacuan kuda di Tegallega tiap bulan Juli-Agustus. Pada acara jaarbeurs, peserta bursa dan kesenian yang dipentaskan, sebagian berasal dari luar negeri, antara lain dari Paris (Prancis). Keberadaan toko di kawasan Braga yang menyediakan pakaian mode Paris dan datangnya artis-artis dari Paris waktu jaarbeurs berlangsung itulah yang menyebabkan munculnya julukan “Bandung Parijs van Java”.


Penataan kawasan Braga tempo dulu sangat menyenangkan. Toko-toko menyajikan barang dagangan yang ditata apik, sehingga menarik. Pada trotoar kiri-kanan jalan, tidak boleh ada kegiatan perdagangan bentuk lain. Trotoar betul-betul difungsikan sebagai tempat orang berjalan. Kawasan Braga menjadi tempat yang disenangi orang banyak untuk rekreasi jalan kaki di pusat kota. Sebagian pengunjung acara jaarbeurs dan pacuan kuda menyempatkan diri untuk jalan-jalan di kawasan Braga. Tetapi tidak sekarang, jalan braga saat ini merupakan jalan ramai yang dilintasi kendaraan bermotor, bukan ramai dilintasi pejalan kaki. Para pejalan kaki menjadi tidak nyaman karena suara bising dan asap yang ditimbulkan kendaraan tersebut sangat mengganggu. Sehingga perlu diantisipasi khususnya oleh pemerintah yang mempunyai kemampuan untuk mengatasinya


kepadatan jalan braga


Perbaikan-perbaikan seperti revitalisasi jalan ini terus dilakukan oleh pihak Pemkot dan sempat terhenti karena beberapa masalah yakni anggaran serta penolakan dari masyarakat Braga. Barulah pada sekitar tahun 2004 penataan tersebut kembali dikerjakan dengan membangun Braga City Walk (BCW). Tujuannya untuk membangkitkan perniagaan yang saat itu telah redup di jalan tersebut, dengan memperlebar trotoar dan mempersempit jalan aspal dan pembangunan mal.


Akan tetapi, pada kenyataannya, BCW tak mampu berfungsi seperti tujuan pembangunannya. Mal dengan 18 lantai yang dilengkapi menara itu tidak sanggup penyedot wisatawan lokal dan asing untuk mengunjungi kawasan yang dulu sangat tersohor itu. Apalagi, untuk menghidupkan lagi bangun-an-bangunan berarsitektur art deco yang telah mati. Jln. Braga tetap saja sepi pengunjung.


Kegagalan-kegagalan tersebutlah yang membuat pesona jalan Braga semakin memudar, ditambah lagi semakin banyak toko yang berguguran dan mulai menutup usahanya. Saat ini saja dari sekitar 120 bangunan yang ada sekitar 40% lebih bangunannya sudah mati dan ssanya masih beraktifitas, tapi tidak menutup kemungkinan mereka akan menyusul teman-temannya yang sudah gulung tikar terlebih dahulu. Ditambah lagi banyak perempuan malam yang menjajakan diri di sana, kontan menambah kesemrawutan disana.


Selain masalah pemugaran yang menyebabkan hilangnya bentuk asli bangunan, masalah lain adalah penelantaran bangunan oleh pemiliknya. Dengan mudah kita bisa menjumpai bangunan-bangunan yang terlantar di Braga bahkan kosong tak berpenghuni, dan banyak kasus juga di banyak daerah di Bandung. Lama kelamaan, bangunan ini mengalami kerusakan, bobrok dan hancur dimakan usia. Tidak bisa dipungkiri, hal ini sangat erat kaitannya dengan masalah dana pemeliharaan yang tidak sedikit dan hingga saat ini, dari pemerintah belum ada alokasi dana untuk pemeliharaan bangunan kuno yang dilindungi.


Meskipun sebenarnya sudah ada Undang-Undang yang mengatur tentang masalah ini, yaitu UU No. 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya, ternyata kasus pembongkaran, penelantaran dan tidak berfungsinya bangunan kuno masih terus terjadi. Ini membuktikan bahwa


peraturan yang ada tersebut belum cukup efektif dalam melindungi bangunan bersejarah yang ada di kota Bandung dan di Braga khususnya. Undang-undang tersebut dinilai masih terlalu umum dan kurang aplikatif sehingga saat ini belum bisa menjadi alat yang ampuh untuk menyelesaikan masalah. Beberapa kalangan menilai bahwa tidak terawatnya bangunan dijalan Braga juga terjadi karena masih rendahnya kesadaran dan kepedulian masyarakat akan hakikat pelestarian bangunan kuno. Padahal, ditinjau dari aspek pariwisata, kawasan-kawasan konservasi memiliki daya tarik yang tinggi bagi para turis pemburu nostalgia .


Selain kurangnya peraturan perundang-undangan yang dapat digunakan sebagai landasan hukum yang kuat, persoalan lain adalah tidak adanya dana pelestarian, sehingga pemerintah belum dapat memberikan insentif dalam bentuk bantuan dana pelestarian, sehingga pemerintah belum dapat mengambil alih pemeliharaan, pengeloaan dan pemanfaatan bangunan bersejarah yang pemiliknya tidak mampu memelihara, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini berkaitan dengan tidak adanya badan atau dinas khusus yang menangani pelestarian bangunan bersejarah sehingga tidak ada anggaran rutin untuk upaya pelestarian bangunan bersejarah.


Dalam pelaksanaan pelestarian bangunan bersejarah dan pengendaliannya, kewenangan Pemerintah Daerah masih kurang, karena berdasarkan Undang-undang, PP dan Kepmen yang berlaku, kewenangan untuk pengawasan maupun penertiban pelestarian ada di tingkat pusat, misalnya dalam hal pemberian sanksi bila terjadi pelanggaran.


Solusi Bagi Braga

Walaupun di Braga sekarang terdapat apartemen dan pusat pertokoan di bawahnya yang disebut Braga Citywalk (BCW), tapi tampaknya belum berhasil menghidupkan seluruh kawasan Braga kembali menjadi kawasan populer Bandung. Oleh karena itu perlu diupayakan revitalisasi kembali dengan konsep yang lebih unik dan menarik sehingga kawasan ini menjadi hidup dan ramai kembali seperti pada saat pertama kali dibangun pada saat zaman kolonial.


Pertama-tama dengan mengubah style jalan Braga menjadi kawasan klasik khusus pejalan kaki, mengawali ide dari pemkot, saya sangat setuju, yaitu mengganti aspal di jalan Braga dengan batu andesit seperti kawasan kota tua di Eropa tampaknya berangkat dari pandangan bahwa Braga dipandang sebagai representasi wilayah klasik kota. Kualitas klasik Braga harus diimbangi dengan upaya mengembalikan unsur nostalgia kawasan itu, misalnya dengan mengembalikan fasade toko yang telah berubah ke model aslinya seperti gaya Art Deco. Dengan begitu, nuansa klasik Braga secara visual akan kembali muncul.

Menurut pemkot sendiri, penataan Jalan Braga yang pada saat ini tengah berlangsung (perubahan struktur permukaan jalan dari aspal menjadi batu andesit) tidak dimaksudkan untuk merubah fungsi jalan, namun lebih dititikberatkan pada penataan badan jalan dan jalur pedestrian dalam rangka mengoptimalkan kembali daya dukung dan arsitektur lahan untuk dimanfaatkan dalam berbagai kegiatan seni budaya maupun perdagangan dan jasa dalam bentuk pasar malam.


Yang tidak kalah menarik yaitu memanfaatkan potensi dan karaksteristik kota Bandung yang mulai dikenal sebagai kota kreatif termasuk julukan kota mode paling dinamis di negeri ini. Berlainan dengan pendekatan klasik di atas, upaya menyulap kawasan Braga menjadi kawasan kreatif, antara lain di samping toko yang menjual produk kreatif seperti kriya yang bersifat souvenir khas Bandung, juga dengan merubah produk yang dijual toko di kawasan itu dengan komoditas khas Bandung yang sekarang sedang trend yaitu FO dan distro, yang tentu saja dilengkapi dengan fasilitas lain seperti cafe atau restoran. Dengan model ini, wajah toko-toko di Braga dapat dikemas dalam gaya desain kontemporer seperti postmodern yang mengacu pada gaya art deco.


Yang tidak kalah penting adalah menertibkan dan menindak tegas para wanita malam yang telah membuat buruk citra jalan Braga, serta benar-benar memfungsikan jalan Braga sebagai tempat pariwiasata belanja ataupun seni yang cocok bagi semua kalangan. Upaya menghidupkan kembali kawasan Braga tidak akan berhasil tanpa dukungan penuh pemilik toko yang bekerjasama dengan pemerintah karena sesungguhnya upaya revitalisasi itu tentunya untuk meningkatkan arus pengunjung ke kawasan Braga, baik lokal, maupun wisatawan mancanegara.


Dari segi undang-undang nampaknya perlu dilakukan perubahan dengan bekerja sama dengan para ahli yang terkait, mengingat ketidakefektifan yang telah dinilai berbagai kalangan dan juga usia undang-undang yang rasanya sudah harus direvisi kembali, dan juga Perlu dibentuk badan dibawah naungan pemerintah agar pembiayaan atau dana dapat tersalurkan dengan lebih terkontrol, dan dapat diawasi secara intensif.



sumber

http://dieny-yusuf.com/2007/10/01/penataan-braga-”sejarah-berulang”/

http://wwwartikelarsitektur.blogspot.com/

http://mangjamal.multiply.com/journal/item/33/menata_braga

http://bandungheritage.org/content/category/5/20/49/

http://www.iai.or.id/index.php?option=com_content&task=category&sectionid=8&id=25&Itemid=52

http://masoye.multiply.com/photos/album/72

http://www.kompas.com/index.php/megapolitan/pariwisatakuliner

http://www.pikiranrakyat.com

http://www.republika.com



0 komentar:

Posting Komentar

 
Powered by Blogger