Senin, 25 Januari 2010

Negosiasi Ulang Perdagangan Bebas

PEPATAH lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali ternyata bukan hanya muncul dalam alam wacana. Di negeri ini, pepatah itu hidup dalam fakta sehari-hari.

Ia menjadi cermin bagi bangsa yang ogah berpikir, malas membuat perencanaan yang matang, dan mentalitas bekerja di ujung--bahkan menabrak--tenggat. Celakanya lagi, mentalitas seperti itu juga hidup dalam logika kerja pemerintah.

Itulah yang terjadi saat negeri ini harus menghadapi pelaksanaan perjanjian perdagangan bebas ASEAN-China atau ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA) mulai 1 Januari 2010. Sudah jauh-jauh hari para pelaku usaha mendesak pemerintah untuk menawar sejumlah pos yang akan dibebasbeakan.

Mereka tahu betul jika sejumlah pos itu langsung masuk dalam skema perdagangan bebas dengan China maka produk Indonesia bakal gulung tikar dalam sekejap. Hal itu karena barang China sejenis yang masuk ke Indonesia lebih murah.

Mengapa bisa lebih murah? Karena pemerintah China menyokong habis-habisan bahkan dengan memberi subsidi kepada industri mereka. Sedangkan di negeri ini, industri justru dibebani dengan rupa-rupa biaya, dari yang resmi hingga siluman.

Kendati arus tuntutan renegosiasi itu sangat deras, Departemen Perdagangan seolah menganggap semuanya baik-baik saja. Fakta itu terlihat dari tidak adanya permintaan negosiasi ulang ACFTA dari Indonesia.

Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu memang sudah mengirim surat kepada Sekjen ASEAN Surin Pitsuwan pada 29 Desember 2009 lalu. Namun, surat itu hanya berisi 'keluhan', bukan permintaan resmi renegosiasi pos tarif.

Padahal, pada 20 Desember 2009, Departemen Perindustrian sudah membuat daftar 228 pos tarif yang perlu diperjuangkan untuk ditunda keikutsertaannya dalam ACFTA. Pos tarif tersebut, misalnya industri alas kaki, yang merupakan wilayah paling rentan dari serbuan produk China.

Begitulah, di satu pihak Menteri Perdagangan menganggap semuanya baik- baik, di lain pihak Menteri Perindustrian memiliki daftar yang panjang pos tarif yang mengkhawatirkan. Hal itu menunjukkan buruknya koordinasi antara kementerian perindustrian dan perdagangan.

Kini, setelah ramai dipersoalkan, barulah pemerintah menegaskan tidak menutup mata untuk menegosiasi ulang 228 pos tarif itu.

DPR pun sudah memberi tenggat enam bulan kepada Menteri Perdagangan untuk berunding dengan ASEAN dan China.

Akan tetapi, pemerintah tidak bisa memastikan apakah mampu menegosiasi ulang sejumlah pos tarif tersebut dalam waktu enam bulan. Menteri Perdagangan berkilah dengan mengambil contoh negosiasi ulang WTO yang sudah bertahun-tahun dilakukan namun tak juga menuai hasil.

Negosiasi ulang sejumlah pos tarif terkait ACFTA ini menjadi pertaruhan diplomasi dagang kita di dunia internasional. Itu merupakan konsekuensi dari absennya pemerintah menyusun strategi menghadapi perdagangan bebas.

Jika langkah yang terlambat itu pun gagal, kita bakal kian terseok-seok dalam arus besar perdagangan dunia. Bahkan, perlahan tapi pasti kita akan digulung oleh kejamnya perdagangan bebas.

dikutip dari media indonesia

0 komentar:

Posting Komentar

 
Powered by Blogger